Publik Ragukan Transparansi dan Integritas Proyek Senilai Sepuluh Miliar Alih-alih menjadi solusi infrastruktur,dugaan Mark-up Manipulasi

Berita9 Views
banner 468x60

 

Provinsi Bangka Belitung. 

banner 336x280

Joker – Merah.com – BANGKA – Proyek penggantian Jembatan Sungai Jeruk, Kabupaten Bangka, dengan nilai kontrak fantastis mencapai Rp10,64 miliar dari APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun anggaran 2025, kini menjadi sorotan publik. Meski secara administratif tercatat berada dalam pendampingan Tim Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kejati Babel, sejumlah temuan di lapangan justru memperlihatkan indikasi penyimpangan serius yang patut dicurigai sebagai praktik korupsi berjamaah.

 

Papan informasi proyek yang terpasang jelas menyebutkan bahwa pekerjaan ini dilaksanakan oleh CV. Pelita Sari, dengan masa kontrak 150 hari kalender dan masa pemeliharaan 365 hari. Jembatan sepanjang 22,60 meter itu sejatinya diharapkan menjadi infrastruktur vital untuk memperlancar mobilitas warga. Namun, sejak awal pelaksanaan, sejumlah kejanggalan mulai tampak di mata publik.

 

Alat Berat Tidak Sesuai Spesifikasi

Investigasi awak media menemukan bahwa alat berat yang digunakan dalam pekerjaan, khususnya excavator merek HITACHI, tidak sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya digunakan untuk proyek dengan nilai miliaran rupiah. Dalam dokumen teknis pengadaan, excavator dengan kapasitas tertentu diwajibkan agar mampu mengerjakan pondasi dan galian dengan standar ketahanan konstruksi jangka panjang.

 

Penggunaan alat dengan kapasitas lebih rendah berpotensi menurunkan kualitas pondasi dan memperlemah struktur jembatan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kontraktor sengaja menekan biaya operasional demi meraup keuntungan lebih besar, sementara risiko kerusakan di masa depan akan ditanggung masyarakat.

 

K3 (Keselamatan Kerja) Diabaikan

Lebih lanjut, pantauan di lapangan menunjukkan para pekerja tidak dilengkapi dengan perlengkapan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dalam beberapa foto terlihat jelas pekerja hanya mengenakan pakaian biasa tanpa helm proyek, rompi reflektif, sarung tangan, maupun sepatu safety.

 

Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta aturan K3 konstruksi Kementerian PUPR mewajibkan penerapan standar tersebut. Kelalaian ini bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mempertaruhkan nyawa pekerja. Seorang warga yang melintas menyebut, “Kalau pekerjanya saja tidak aman, bagaimana kami bisa percaya jembatan ini akan aman digunakan masyarakat?”

 

Dugaan Jual-Beli Besi Proyek

Kejanggalan semakin menguat ketika tim investigasi menemukan adanya pihak luar yang diduga melakukan transaksi pembelian besi proyek di lokasi pekerjaan. Besi merupakan material utama jembatan dan sudah masuk dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) serta tercakup dalam lelang LPSE. Secara aturan, seluruh material merupakan aset negara selama proyek berlangsung, bukan untuk diperjualbelikan.

 

Seorang saksi mata mengungkapkan, “Ada orang datang terlihat menawar dan membeli besi di lokasi proyek. Padahal itu seharusnya dipakai untuk pekerjaan jembatan.”

 

Jika benar besi proyek dipindahtangankan ke pihak lain, hal ini bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan indikasi penggelapan aset proyek. Selain merugikan keuangan negara, kualitas konstruksi pun bisa terancam karena material berkurang dari jumlah yang seharusnya.

 

Proyek Strategis yang Sarat Kejanggalan

Dengan sederet temuan ini, publik semakin meragukan transparansi dan integritas proyek senilai lebih dari sepuluh miliar rupiah tersebut. Alih-alih menjadi solusi infrastruktur, proyek justru terkesan dikelola dengan pola lama: mark-up, manipulasi spesifikasi, abai terhadap keselamatan, hingga dugaan penggelapan material.

 

Meski papan proyek mencantumkan bahwa pekerjaan ini berada dalam pengawasan PPS Kejati Babel, realita di lapangan memperlihatkan pengawasan yang lemah. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana komitmen aparat penegak hukum dalam mengawal proyek strategis daerah agar tidak dikorupsi?

 

Desakan Publik

 

Masyarakat menuntut agar aparat penegak hukum segera melakukan audit investigatif terhadap proyek Jembatan Sungai Jeruk. Pemeriksaan harus mencakup dokumen kontrak, realisasi di lapangan, spesifikasi alat, penerapan K3, hingga pengelolaan material.

 

Jika benar terbukti ada penyimpangan, maka kontraktor, konsultan pengawas, bahkan pejabat terkait harus bertanggung jawab penuh. Sebab, praktik ini bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berpotensi menciptakan infrastruktur rapuh yang bisa membahayakan nyawa masyarakat pengguna jalan.

 

Penutup

Kasus Jembatan Sungai Jeruk menjadi cermin nyata bagaimana proyek dengan label “strategis” bisa berubah menjadi ladang penyimpangan jika pengawasan hanya sebatas formalitas. Dengan nilai kontrak Rp10,64 miliar dari APBD, publik pantas menuntut transparansi dan kualitas terbaik, bukan sekadar jembatan yang dibangun asal jadi.

 

Kini, semua mata tertuju pada Kejati Babel dan aparat pengawas lainnya. Apakah mereka berani menindak tegas dugaan penyimpangan ini, atau justru membiarkan proyek miliaran rupiah tersebut menjadi monumen korupsi baru di Bangka Belitung?

Tim

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *